TRADISI RUWATAN BAGI MASYARAKAT JAWA


TRADISI RUWATAN BAGI MASYARAKAT JAWA


Dunia Jawa khususnya dalam perjalanan hidup orang Jawa, laku menempati posisi sentral. Kualitas seseorang amat ditentukan oleh jumlah dan kualitas hidup yang dijalankan, yaitu betapa seseorang dalam menghayati hidup dipenuhi oleh tegangan-tegangan apakah ia memiliki kesadaran total bagaimana mengikatkan diri secara vertikal kepada Tuhan YME sehingga memberikan konsekuensi horizontal kepada sesama manusia, ataukah menanggapi hidup ini hanya sebagai ropyan-ropyan (hedonisme), hiburan, tekanan batin, dan sebagainya. Inilah persoalan mendasar yang harus dipecahkan oleh setiap orang Jawa yang merefleksi ke dalam karya sastra, bahkan bagi setiap orang di manapun ia berada.

Dalam lakon ruwat ditawarkan kepada para pembaca, penonton, dan seluruh pemersudi hidup, bahwa secara potensial manusia memiliki sifat-sifat Bathara Kala yang menjelma ke dalam perilaku tidak baik.

Relevansi dalam lakon ruwat adalah bahwa manusia pada dasarnya menghadapi dua pilihan: baik dan tidak baik. Masing-masing dapat dirasakan sendiri oleh manusia itu. Manusia secara sederhana memiliki perilaku yang terdiri dari tiga komponen, pertama: sikap, kedua: kata-lata, ketiga: perbuatan. Ketiga komponen tersebut disebut pula sebagai perilaku atau budi pekerti. Ketiga komponen tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat, yang diperoleh dari (watak) dasar dan ajar. Manusia yang baik memiliki sifat satu, yaitu sifatnya Tuhan. Sedangkan manusia pada dasarnya mempunyai sifat dua, yaitu sifat baik dan tidak baik. Manusia yang baik berusaha selalu menipiskan sifat tidak baik agar menebal sifat Tuhan pada dirinya. Demikianlah inti paparan keynote speaker dari Dr. Budya Pradipta, Dosen Senior Universitas Indonesia (UI) dalam seminar nasional “Ruwatan dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan” yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Konferensi Wayang Internasional I di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada pada 17 Juli 2009 lalu.

Pada kesempatan lain, pembicara dari Universitas Jember Jawa Timur, yakni Ayu Sutarto dalam makalahnya yang berjudul “Ruwatan sebagai Ungkapan Sumeleh dan Nenuwun” mengatakan bahwa salah satu tradisi yang masih hidup di masyarakat Jawa hingga sekarang adalah tradisi ruwatan. Tradisi ruwatan dilakukan sebagai suatu permohonan agar manusia diselamatkan dari gangguan dan bencana yang mengancam hidup dan kehidupannya. Melalui ruwatan, manusia merasa terlindungi oleh kekuatan besar yang dipercaya sebagai kekuatan penyelamat sehingga dalam dirinya muncul hasrat untuk selalu eling, bertobat, tumungkul, dekat, manembah, nenuwun, maneges, nyuwun ngapura, sumeleh, pasrah, dan semacamnya kepada kekuatan penyelamat yang dimaksud. Dalam ruwatan tersebut terdapat peralatan, sajian, korban, atau mantera yang dijadikan sarana untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan penyelamat yang diinginkan. Dalam masyarakat kita, ruwatan diejawantahkan dalam berbagai kegiatan spiritual seperti selamatan, bancakan, memetri, bersih desa, pethik laut, sedekah bumi, ider bumi, menggelar pertunjukan, dan lain sebagainya. Maksud ruwatan adalah memuja dan meminta dengan sepenuh hati agar pelakunya lepas dari petaka dan memperoleh rahayu atau slamet.

Tradisi ruwatan termasuk budaya spiritual masyarakat Jawa yang bersifat nonbendawi (intangibles), seperti halnya upacara adat, seni pertunjukan, seni sastra, dan perilaku beragama. Selain itu budaya spiritual juga tercermin dari berbagai produk budaya bendawi (tangibles), seperti candi, patirtan, punden berundak, bentuk rumah, peralatan perang, dan pertanian. Sebuah budaya spiritual masyarakat Jawa yang terkait dengan ruwatan yang masih dilakukan oleh masyarakat Tengger adalah Upacara Adat Kasada atau dikenal dengan Yadnya Kasada. Upacara yang dilakukan bukan hanya bertujuan untuk memuja penjaga gunung dan berdoa, tetapi juga untuk meminta perlindungan dan kesejahteraan kepada yang menjaga Gunung Bromo. Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tengger diduga sudah ada sejak zaman Majapahit.

Beberapa pembicara lain yang tampil dalam acara seminar nasional tersebut adalah Parwatri Wahyono dari UI dengan judul makalah “Ruwatan dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan”, Romo G. Budi Subanar dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan judul makalah “Upacara Ruwatan (di Dunia) Masa Kini: Ekspresi Kesetiaan Kreatif (pada Tradisi) dalam Kehidupan Modern”, dan Hariani Santiko dari UI dengan judul makalah “Pengertian dan Upacara Ruwat pada Masyarakat Jawa Kuna”. Acara seminar nasional ini dihadiri sekitar 75 peserta dari berbagai elemen masyarakat, baik dosen, budayawan, praktisi, dan mahasiswa.


TRADISI RUWATAN BAGI MASYARAKAT JAWA

Ruwat adalah upacara sakral yang masih dikenal masyarakat Jawa hingga sekarang. Kata ‘ruwat’ diartikan sebagai ‘lepas atau bebas’ dan upacara ruwat dimaksud untuk membebaskan seseorang dari pengaruh jahat dan kutukan. Jika tidak diruwat maka dipercaya orang tersebut akan mendapat malapetaka. Orang yang harus diruwat ini disebut ‘wong sukerta’.

Demikian dikemukakan pengajar arkeologi Universitas Indonesia (UI) Hariani Santiko pada diskusi ‘Ruwatan dalam Berbagai Tradisi Kebudayaan’ di Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 17/7/09, sebagai rangkaian Konferensi Wayang Intenasional di UGM, 15-18/7/09.

Ruwat, kata Hariani, bukan sekadar membebaskan seseorang dari pengaruh jahat dan kutukan tetapi lebih mendekati pengertian ‘membersihkan seseorang dari dosa yang disebut mala atau klesa yang melekat pada dirinya,’ dan hal ini merupakan persiapan untuk mencapai moksa dan kelepasan.

Menurut pengajar sastra Jawa UGM Dhiyan Prastiyono, kata ruwat sudah ada di dalam cerita-cerita Jawa Kuna. Artinya, ‘tak kuasa, menghapuskan (kutukan, kemalangan, dan lain-lain), membebaskan’. Dhiyan menilai, secara leksikal arti ruwat mulai dari Kakawin Ramayana sampai dengan Kowasrama masih bertahan, namun secara semantis terjadi pergeseran pada teks-teks yang lebih muda, dari tidak bersifat ilahi menjadi ilahi.

Yang tergolong wong sukerta, kata Hariani, di antaranya adalah anak tunggal baik anak laki-laki maupun perempuan; anak dua bersaudara, keduanya laki-laki atau bersaudara atau seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan; anak tiga bersaudara, anak kedua perempuan atau laki-laki; anak laki-laki atau perempuan berjumlah lima orang; anak kembar sejenis atau tidak sejenis; merubuhkan dandang ketika sedang menanak nasi; memecahkan batu alas atau batu pelindasnya.

Menurut Dhiyan, sukerta berasal dari kata Sanskerta ‘svkrta’ yang antara lain berarti ‘memperoleh, mendapatkan untuk dirinya sendirinya, mempersembahkan sesuatu kepada seseorang’. Di dalam bahasa Jawa Kuna kata svkrta berkembang menjadi ‘swikara’ yang berarti ‘dikuasai, ditangkap, dengan mendesak, dengan menuntut, dengan kekerasan, merasa didesak, dengan ulet’. Bagi Dhiyan, kata inilah yang lalu berkembang menjadi kata ‘sukerta’ pada masa sekarang ini. Sehingga orang yang termasuk sukerta harus dibebaskan dari pengaruh Kala, dengan cara diruwat.

Bagi dalang dan pengajar ISI Surakarta Suyanto, salah kaprah anggapan umum bahwa sukerta berasal dari kata ‘suker’ (Jawa) yang artinya kotor, sedih, halangan, misteri kegelapan atau keburukan yang menyelimuti kehidupan seseorang. Dalam bahasa Kawi tidak ada kata sukerta, melainkan sukreta yang bersinonim dengan sukarta, yang berarti diperhatikan, diperbaiki, dihormati, dan disenangi. Menurut Suyanto, sukerta dapat diartikan sebagai upaya untuk mengingatkan seseorang menjadi lebih memperhatikan hidupnya supaya perilakunya menjadi lebih baik, sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat menjadi lebih diperhatikan, disegani dan dihormati.

Menurut pengajar sastra Jawa UI Pawatri Wahjono, ada berbagai jenis ruwatan. Ada ruwatan Murwakala, yakni pagelaran wayang purwa dengan lakon Murwakala. Ada pula ruwatan Sudamala sebagai upacara untuk mengusir roh jahat, penyucian sesudah kematian, dan sebagainya.

Ruwatan, kata Pawatri, sampai sekarang masih dilakukan oleh orang Jawa karena alasan merasa belum sreg kalau belum melaksanakan tradisi para leluhurnya, khawatir kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, atau karena musibah yang bertubi-tubi menimpa walaupun secara sosial relijius telah menjalankan semua syariat agamanya. Atau karena alasan ingin melestarikan adat istiadat leluhurnya.

Pengajar pascasarjana Universitas Sanata Dharma G. Budi Subanar menilai bahwa ruwatan tetap dihidupi karena mampu menjawab kerinduan orang-orang yang hidup di zaman ini dalam mengekspresikan syukur atas kehidupan yang dialaminya, tapi juga sekaligus mengekspresikan permohonan dan harapan untuk memperoleh rahmat dan berkat kehidupan yang terbebas dari malapetaka.


0 Responses

Posting Komentar